Oleh Abu sawawa
Sampailah di kota Garut, kota yang
menjadi tempat tujuan kami. Tiba di rumah paman teman saya sudah habis isya. Di
sana sudah banyak orang yang nota bene murid-muridanya paman teman saya ini.
Lumayan juga perjalanan dari bandung ke garut ini, sedikit melelahkan apalagi
naik bis yang penumpang dijejal sampai-sampai saya harus berdiri dari terminal
cicaheun bandung sampai terminal kota Garut.
Saya cari posisi untuk duduk, di
depan saya sudah berjejer murid-murid teman saya ini, lengkap dengan sarung dan
peci. Sambil melepaskan lelah saya ambil sebatang rokok dan minum air yang
sejak tadi sudah disodorkan tuan rumah pada kami. Kemudian kami saling
mengenalkan satu sama lain dengan yang duluan hadir di situ. Dan ternyata mereka datang dari jauh
dari Limbangan.
Saya berbisik pada teman saya: “Enjang, yang mana paman
kamu itu”
“Sebentar lagi datang, masih
wiridan di kamar”
Tidak lama berselang keluarlah
seorang laki-laki dengan mantel merah dank kopeah merah juga. Lalu menegur
kami.
“Jam berapa dari Bandung. Njang?”
“Habis Magrib, mang!, macet di
jalannya,”
“oh, …! Biasa kalau malam minggu macet,
maklum semua yang kerja di bandung pulang”.
Kemudian kami semua terlibat dalam
perbincangan, apalagi saudara enjang ini sangat suka sekali ngobrol. Ya,
lumayan dia enak dibawa ngobrol meskipun
dalam umur dia sudah terpaut jauh dari kami.
Kemudian tiba-tiba dua orang
muridnya berdiri dan mereka menuju ke tengah ruangan masing-masing dari mereka
mengambil posisi berhadapan. Tak lama berselang keduanya bergerak seperti
perkelahian, tapi bedanya ini perkelahian dengan tenaga dalam yang mereka ambil
dari Amatan. Saya lihat kadang yang satu yang jatuh kadang juga yang lainnya.
Setelah selesai yang satu diganti lagi dengan yang lainnya, sampai pada giliran
teman saya yang harus maju ke tengah ruangan.
“Enjang, coba hasil dua kali puasa
tuh, emang mau lihat!” Mamangnya Enjang
menyuruh dia untuk memperlihatkan apa yang telah diberikannya.
“Siap mang,!” Enjang menjawab
sambil berdiri dan menuju ke tengah ruangan.
Tubuh Enjang bergetar dan mulailah
keluar gerakan-gerakan kadang keluar juga suara seperti harimau. Setelah terasa
cukup emangnya Enjang menyuruh dia
berhenti. Enjang berhenti sambila menyeka keringat dia duduk di samping saya.
Dari awal sampai akhir saya merasa
penasaran dengan apa yang terjadi di depan mata ini. Keingintahuan saya terus
berontak ingin membuktikan dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi sehingga
mereka bisa mempunyai ilmu beladiri secara instan.
“Mang, teman saya ikut ke sini
sebenarnya punya tujuan mau belajar juga”. Enjang memulai berbicara pada
emangnya.
“Ya, kalau mau bisa saja asal mau
melaksanakan syarat-syaratnya.”
“yang utama jangan meninggalkan
shalat 5 waktu, jangan berzina, berbuat baik, dan yang
lainnya harus puasa “
Setelah saya lama berbicara dengan
Pamannya Enjang, akhirnya saya diberikan syarat-syarat dan wirid yang harus
saya jalankan untuk mendapatkan ilmu beladiri seperti murid-muridnya. Keesokan harinya saya pulang
keBandung dengan oleh-oleh mulai hari selasa saya harus puasa 3 hari selama
tiga minggu berturut-turut. Dan sesampai di Bandung saya laksanakan apa yang
diberikan pamannya Enjang kepenasaran
saya membawa saya untuk menerima apa yang dia berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar