Perjalanan ke Linggaratu Awal Sebuah Misteri
Oleh Abu Sawawa
Dari dua kali perjalanan saya ke Garut untuk membuktikan
keberadaan tentang ilmu amatan dan apa yang sebenarnya, ada satu pertanyaan saya
simpan. Apakah benar puasa dan wirid itu jaminan utama untuk menerima ilmu-ilmu
tersebut. Sedangkan pengalaman saya kemarin puasa saya lakukan tidak seperti
yang dipesankan mang toto, kemudian wirid juga tidak sampai pada apa yang di
syaratkan. Nyatanya ilmu itu bisa saya miliki bahkan saya lebih cepat
menerimanya daripada yang sudah-sudah.
Minggu ke dua saya sering latihan dengan Teman saya Enjang.
Saya latihan setiap malam di masjid Al Falah dekat dengan tempat kerja saya.
Semakin hari saya semakin merasakan dengan apa yang sekarang sedang saya pelajari
.
Seperti biasanya sabtu sore itu saya pergi lagi ke Garut , sebagaimana
pesan mang Toto kami harus ke sana untuk ziarah ke Linggaratu. Saya penasaran dengan Linggaratu ini, karena menurut mereka tempat ini ada di puncak
sebuah gunung masih di Wilayah Garut juga. Dan menurut mereka tempat ini merupakan tempat
keramat, tempat tinggalnya para Wali.
Singkat cerita pagi-pagi setelah shalat subuh kami semua
berangkat ke Linggaratu. Masing-masing dari kami membawa perbekalan untuk bekal
selama di perjalanan. Tak terasa sudah
hampir 2 jam kami berjalan kami sampai di pinggiran hutan pinus.
Di tengah perjalanan kami berhenti dulu untuk mengambil air untuk memasak ketika kami sampai di sana.
Mang Toto menyuruh kami untuk berwudhu dulu, karena kami akan mendatangi tempat
yang disucikan atau keramat menurut mereka. Setelah dianggap beres kami semua
melanjutkan perjalanan kembali.
Perjalanan sekarang lebih sulit lagi karena kami harus
membuat jalan sendiri. Jalan yang dahulu
selalu dilewati telah dipenuhi pohon kaso dan alah-alang. Cukup lama juga kami sampai ke tujuan apalagi perjalanan
lebih mendaki untuk sampai ke puncak gunung.
Akhirnya kami sampai di sebuah pelataran, di pelataran itu ada
tempat yang dipagar. Di dalam tempat itu ada beberapa kuburan yang berbeda
dengan kuburan-kuburan yang kita ketahui. Perbedaannya ukuran kuburan itu
panjang. Satu kuburan itu saya perkirakan tiga kali ukuran tinggi badan manusia
biasa.
“Kang, ini makam prabu kingking” Aju teman dari limbangan
berbisik kepada saya.
Saya jawab dengan anggukan.
Kemudian mang Toto masuk ke pelataran tersebut dan diikuti
oleh yang lainnya. Kemudian saya menguikuti
mereka, dan semua perbekalan di simpan di luar pelataran makan tersebut.
Semua duduk melingkari salah satu makam, mungkin makam itu
yang mereka sebut makan prabu kingking.
Sikap mereka seperti memasuki
rumah orang yang sangat dihormati, suasana hening diselingi semilir angin serta suara
berjatuhannya daun yang sudah tua.
Satu yang menjadi bahan pertanyaa saya disini, semua
murid-murid mang toto menyimpan dompetnya
di hadapan mereka, atau yang pakai sal mereka buka dan di simpan juga di
depan. Kemudian mereka masing-masing mengikat satu daun yang ada di makam tersebut. Sambil mereka ikatkan daun itu mereka
berbisik-bisik seperti ada yang mereka
minta.
Tapi dompet saya masih ada di saku celana saya tidak saya
keluarkan saya berfikir masa orang mati butuh dompet, sambil ketawa dalam hati.
Kemudian mang Toto mulai berdoa atau istilah mereka tawasul kepada para wali.
Jadi mang Toto ini mengirim hadiah kepada para wali yang ada di sana termasuk
Prabu Kingking. Hadiahnya surat Al fatihah, begitulah keyakinan mereka.
Orang lain menyambut apa yang dibacakan mang Toto dengan
bacaan Al fatihah. Saya belum pernah melakukan hal seperti ini karena yangb
sampai kepada orang yang sudah meninggal hanya ada tiga, Amal jariah di waktu
hidup, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan. Ada perasaan takut pada diri saya kalau yang akan saya doakan
ini adalah orang musyrik karena muslim
dilarang mendoakan orang musyrik.
Akhirnya saya bicara dalam hati “siapa saja yang dikuburkan
di sini saya tidak akan berdoa untuk anda, karena belum jelas siapa anda dan
saya masih takut Alloh SWT, yang mempunyai saya dan anda.”
Begitulah yang saya ucapakan di makam itu.
Mang Toto kemudian mengenalkan kami semua, katanya kepada
para wali yang ada di sana. Setelah dianggap selesai kami semua melanjutkan
perjalan yang menurut mereka, kami menuju ke keratonnya Prabu Kingking. Perjalanan sekarang tidak mendaki, karena kami
sudah ada di puncaknya. Jalan yang kami lalui adalah jalan setapak, di kiri dan kanannya jurang yang curam.
Tak lama berselang kami sampai di tujuan, kami sampai di sebuah tempat dimana di tempat itu seperti bekas
perkampungan atau pernah ada kegiatan kehidupan . Tempatnya tersusun rapi dengan
batu-batu besar. Ada dua batu yang tersusun mungkin batu ini masing-masing
punya tinggi sekitar 20 meteran. Batu ini tersusun bertumpuk seperti menara
masjid. Mang toto juga mengatakan bahwa batu itu dulunya menara masjid, dan asalnya ada tiga bertumpuk tetapi yang satu
hilang, katanya pindah ke Godog tempat dimakamkanya Sunan Romat Suci (Kian
Santang).
Kemudian kami menuruni tangga yang ada di sela –sela batu
yang tersusun. Ternyata di bawah tangga
ini ada suatu pelataran yang rata. Kami semua berkumpul di sana, dan mang Toto
menyuruh salah satu muridnya naik ke atas batu untuk adzan.
“Ini kan, belum waktunya dzuhur?”
Saya nyeletuk spontan bicara tersebut.
Semua yang ada di sana memandangi saya seperti tidak setuju
dengan apa yang saya katakan. Dalam hati saya bergumam, “ada apa dengan mereka?”
Setelah selasai adzan, saatnya kami membuka perbekalan. Sebagian dari kami ada yang cara ranting kayu untuk kayu
bakar, yang lainnya ada yang mencuci beras , dan membuat perapian. Saya bersandar di batu sambil merasakan
hembusan angin yang membelai sekujur tubuh
saya. Menikmati belaian angin itu membuat mata saya mengajak masuk ke dunia lain.
Tiba-tiba teman saya membangunkan saya.
“Gi, kopi?”
Saya terbangun dan saya lihat di depan saya sudah ada kopi
susu masih panas dan roti tawar. Di
depan teman saya juga sudah ada ada sajian seperti yang ada di depan saya ini.
Kopi susu plus roti tawar. Kemudian mang Toto membagikan rokok cigarelos yang bentuknya seperti cerutu tapi sedikit kecil. Katanya kalau di sini minumnya
harus kopi susu, roti tawar, dan rokok cigarelos. mereka mungkin berfikiran lain tentang sajian ini, tetapi saya berfikir
sederhana di tempat dingin ini pasti enak minum kopi susu panas dan roti tawar ditambah rokok.
Wajar bila terasa lebih nikmat.
Sambil menikmati semua itu satu persatu murid mang Toto memperagakan apa yang
telah mereka miliki. Kemudian diteruskan dengan berpasangan. Ada yang beda latihan di sini dengan di rumah. Bedanya
latihan di sini dibebaskan menggunakan
lodaya Linggaratu dan bebaskan mengeluarkan suara lodayanya. Beda dengan latihan
di rumah lodaya jarang dikeluarkan, entah apa sebabnya.
Setelah dianggap cukup latihannya, kami semua di suruh mandi
di mata air yang berada di bawah tempat ini. Jadi kami harus turun untuk
mandi di mata air ini, kata mang Toto mata air itu merupakan tempat
menyempurnakan ilmu. Air merupakan air
keramat dari para wali di Linggaratu ini.
Meskipun malas untuk melangkahkan kaki , tetapi saya harus
ikut sama mereka. Malasnya bagi saya bukan turunnya, karena nanti sudah mandi
harus naik lagi, padahal waktu perjalanan
tadi saya sudah kepayahan. Sekarang harus turun dan kemudian saya harus naik lagi.
“cape dech….!”
Perjalanan ke mata
air ini saya perkirakan setengah jam baru kami bisa menemukan tempat itu. Ada
air yang keluar dari sela-sela bebatuan,
kemudian dibawahnya kami buatkan kolam-kolaman untuk menampung air itu. Airnya
sangat jernih, cocok untuk memandikan badan yang sedang kecapean.
Semua bergiliran mandi setelah mang Toto berdoa di bawah
mata air tersebut. Selesai mandi
kami semua naik lagi ke tempat latihan tadi. Kemudian menyantap nasi liwet yang
sudah dari tadi matang, sambal, bakar ikan asin, ada juga lalapannya ketimun. Pokoknya
nikmat…..!
Saya baru ingat bahwa saya simpan kamera di dalam tas. Saya
keluarkan dan ambil gambar-gambar untuk mengabadikan
tempat itu. Saya ambil juga gambar batu yang katanya kalau ambil gambar batu
itu itu tidak akan pernah jadi, dan terkadang kameranya bisa rusak.
Dirasakan sudah cukup untuk tinggal di sana, mang Toto menyuruh kami berkemas untuk segera meninggakan
tempat itu. Akhirnya kami semua pulang, dan saya puas dengan perjalanan ini.
Karena saya jarang sekali melakukan perjalanan mendaki gunung. Yang
lainnya saya tidak terlalu fikirkan, terutama soal ilmu yang diberikan mang
Toto kepada saya.
Dalam Perjalanan pulang ada yang aneh pada teman-teman saya. Terutama orang Limbangan semua mengatakan sehabis dari Linggaratu
penampilan saya jadi beda. Saya tidak tahu apakah ini benar atau mereka hanya
bercanda.
Dan dari perjalanan inilah masalah buat saya muncul. Saya mengalami banyak
perjalanan di alam gaib, ada juga yang mengatakan saya gila, ada juga
yang mengatakan mempunyai ilmu sesat, ada juga yang mengatakan saya belajar
ilmu tak kesampaian.Tapi itulah yang saya alami insya Alloh akan saya curahkan semua
pada blog ini.
Bersambung……..!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar