Header Banner JagoanStore

Senin, 16 Juli 2012

Kisah Nyata Abi Sawawa Bagian ke-5


Perjalanan ke Linggaratu Awal Sebuah Misteri
Oleh Abu Sawawa

Dari dua kali perjalanan saya ke Garut untuk membuktikan keberadaan tentang ilmu amatan dan apa yang sebenarnya, ada satu pertanyaan saya simpan.  Apakah benar puasa dan wirid itu jaminan utama untuk menerima ilmu-ilmu tersebut. Sedangkan pengalaman saya kemarin puasa saya lakukan tidak seperti yang dipesankan mang toto, kemudian wirid juga tidak sampai pada apa yang di syaratkan. Nyatanya ilmu itu bisa saya miliki bahkan saya lebih cepat menerimanya daripada yang sudah-sudah.

Minggu ke dua saya sering latihan dengan Teman saya Enjang. Saya latihan setiap malam di masjid Al Falah dekat dengan tempat kerja saya. Semakin hari saya semakin merasakan dengan apa yang sekarang sedang saya pelajari .
Seperti biasanya  sabtu sore itu saya pergi lagi ke Garut , sebagaimana pesan mang Toto kami harus ke sana untuk ziarah ke Linggaratu.  Saya penasaran dengan Linggaratu ini,  karena menurut mereka tempat ini ada di puncak sebuah gunung masih di Wilayah Garut juga.  Dan menurut mereka tempat ini merupakan tempat keramat, tempat tinggalnya para Wali.
Singkat cerita pagi-pagi setelah shalat subuh kami semua berangkat ke Linggaratu. Masing-masing dari kami membawa perbekalan untuk bekal selama di perjalanan.  Tak terasa sudah hampir 2 jam kami berjalan kami sampai di pinggiran hutan pinus.
Di tengah perjalanan  kami berhenti dulu untuk mengambil  air untuk memasak ketika kami sampai di sana. Mang Toto menyuruh kami untuk berwudhu dulu, karena kami akan mendatangi tempat yang disucikan atau keramat menurut mereka. Setelah dianggap beres kami semua melanjutkan  perjalanan kembali.
Perjalanan sekarang lebih sulit lagi karena kami harus membuat jalan sendiri.  Jalan yang dahulu selalu dilewati telah dipenuhi pohon kaso dan alah-alang. Cukup lama juga  kami sampai ke tujuan apalagi perjalanan lebih mendaki  untuk sampai ke puncak gunung.
Akhirnya kami sampai di sebuah pelataran, di pelataran itu ada tempat yang dipagar. Di dalam tempat itu ada beberapa kuburan yang berbeda dengan kuburan-kuburan yang kita ketahui. Perbedaannya ukuran kuburan itu panjang. Satu kuburan itu saya perkirakan tiga kali ukuran tinggi badan manusia biasa.
“Kang, ini makam prabu kingking” Aju teman dari limbangan berbisik kepada saya.
Saya jawab dengan anggukan.
Kemudian mang Toto masuk ke pelataran tersebut dan diikuti oleh yang lainnya. Kemudian saya menguikuti  mereka, dan semua perbekalan di simpan di luar pelataran  makan tersebut.
Semua duduk melingkari salah satu makam, mungkin makam itu yang mereka sebut makan prabu kingking.  Sikap mereka seperti  memasuki rumah orang yang sangat dihormati, suasana hening   diselingi semilir angin serta suara berjatuhannya daun yang sudah tua.
Satu yang menjadi bahan pertanyaa saya disini, semua murid-murid mang toto menyimpan dompetnya  di hadapan mereka, atau yang pakai sal mereka buka dan di simpan juga di depan. Kemudian mereka masing-masing mengikat satu daun  yang ada di makam tersebut.  Sambil mereka ikatkan daun itu mereka berbisik-bisik seperti ada yang mereka  minta.
Tapi dompet saya masih ada di saku celana saya tidak saya keluarkan saya berfikir masa orang mati butuh dompet, sambil ketawa dalam hati. Kemudian mang Toto mulai berdoa atau istilah mereka tawasul kepada para wali. Jadi mang Toto ini mengirim hadiah kepada para wali yang ada di sana termasuk Prabu  Kingking. Hadiahnya  surat Al fatihah, begitulah keyakinan mereka.
Orang lain menyambut apa yang dibacakan mang Toto dengan bacaan Al fatihah. Saya belum pernah melakukan hal seperti ini karena yangb sampai kepada orang yang sudah meninggal hanya ada tiga, Amal jariah di waktu hidup, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang mendoakan.  Ada perasaan  takut pada diri saya kalau yang akan saya doakan ini adalah orang musyrik karena  muslim dilarang mendoakan orang musyrik.
Akhirnya saya bicara dalam hati “siapa saja yang dikuburkan di sini saya tidak akan berdoa untuk anda, karena belum jelas siapa anda dan saya masih takut Alloh SWT, yang mempunyai saya dan anda.”
Begitulah yang saya ucapakan di makam itu.
Mang Toto kemudian mengenalkan kami semua, katanya kepada para wali yang ada di sana. Setelah dianggap selesai kami semua melanjutkan perjalan yang menurut mereka, kami menuju ke keratonnya Prabu Kingking.  Perjalanan sekarang tidak mendaki, karena kami sudah ada di puncaknya. Jalan yang kami lalui adalah jalan setapak, di kiri dan kanannya jurang yang curam.
Tak lama berselang kami sampai di tujuan, kami  sampai di sebuah tempat  dimana di tempat itu seperti bekas perkampungan atau pernah ada kegiatan kehidupan . Tempatnya tersusun rapi dengan batu-batu besar. Ada dua batu yang tersusun mungkin batu ini masing-masing punya tinggi sekitar 20 meteran. Batu ini tersusun bertumpuk seperti menara masjid. Mang toto juga mengatakan bahwa batu itu dulunya menara masjid, dan  asalnya ada tiga bertumpuk tetapi yang satu hilang, katanya pindah ke Godog tempat dimakamkanya Sunan Romat Suci (Kian Santang).
Kemudian kami menuruni tangga yang ada di sela –sela batu yang tersusun.  Ternyata di bawah tangga ini ada suatu pelataran yang rata. Kami semua berkumpul di sana, dan mang Toto menyuruh salah satu muridnya naik ke atas batu untuk adzan.
“Ini kan, belum waktunya dzuhur?”
Saya nyeletuk spontan bicara tersebut.
Semua yang ada di sana memandangi saya seperti tidak setuju dengan apa yang saya katakan. Dalam hati saya bergumam, “ada apa dengan mereka?”
Setelah selasai adzan, saatnya  kami membuka perbekalan. Sebagian dari  kami ada yang cara ranting kayu untuk kayu bakar, yang lainnya ada yang mencuci beras , dan membuat perapian.  Saya bersandar di batu sambil merasakan hembusan angin yang membelai sekujur tubuh  saya. Menikmati belaian angin itu membuat  mata saya mengajak masuk ke dunia lain. Tiba-tiba teman saya membangunkan saya.
“Gi, kopi?”
Saya terbangun dan saya lihat di depan saya sudah ada kopi susu  masih panas dan roti tawar. Di depan teman saya juga sudah ada ada sajian seperti yang ada di depan saya ini. Kopi susu plus roti tawar. Kemudian mang Toto membagikan rokok cigarelos  yang bentuknya seperti cerutu tapi  sedikit kecil. Katanya kalau di sini minumnya harus kopi susu, roti tawar, dan rokok cigarelos. mereka mungkin berfikiran lain  tentang sajian ini, tetapi saya berfikir sederhana di tempat dingin ini pasti enak minum  kopi susu panas dan roti tawar ditambah rokok. Wajar bila terasa lebih nikmat.
Sambil menikmati semua itu satu  persatu murid mang Toto memperagakan apa yang telah mereka miliki. Kemudian diteruskan dengan berpasangan. Ada yang beda  latihan di sini dengan di rumah. Bedanya latihan di sini dibebaskan  menggunakan lodaya Linggaratu dan bebaskan mengeluarkan suara lodayanya. Beda dengan latihan di rumah lodaya jarang dikeluarkan, entah apa sebabnya.
Setelah dianggap cukup latihannya, kami semua di suruh mandi di mata air yang berada di bawah tempat ini. Jadi kami harus turun  untuk  mandi di mata air ini, kata mang Toto mata air itu merupakan tempat menyempurnakan ilmu. Air  merupakan air keramat  dari  para wali di Linggaratu ini.
Meskipun malas untuk melangkahkan kaki , tetapi saya harus ikut sama mereka. Malasnya bagi saya bukan turunnya, karena nanti sudah mandi harus naik lagi, padahal waktu  perjalanan tadi saya sudah kepayahan. Sekarang harus turun dan kemudian saya harus naik lagi.
“cape dech….!”
Perjalanan  ke mata air ini saya perkirakan setengah jam baru kami bisa menemukan tempat itu. Ada air yang keluar  dari sela-sela bebatuan, kemudian dibawahnya kami buatkan kolam-kolaman untuk menampung air itu. Airnya sangat jernih, cocok untuk memandikan badan yang  sedang kecapean.
Semua bergiliran mandi setelah mang Toto berdoa di bawah mata air tersebut. Selesai  mandi kami semua naik lagi ke tempat latihan tadi. Kemudian menyantap nasi liwet yang sudah dari tadi matang, sambal, bakar ikan asin, ada juga lalapannya ketimun. Pokoknya nikmat…..!
Saya baru ingat bahwa saya simpan kamera di dalam tas. Saya keluarkan  dan ambil gambar-gambar untuk mengabadikan tempat itu. Saya ambil juga gambar batu yang katanya kalau ambil gambar batu itu itu tidak akan pernah jadi, dan terkadang kameranya bisa rusak.
Dirasakan sudah  cukup untuk tinggal di sana, mang Toto menyuruh kami berkemas untuk segera meninggakan tempat itu. Akhirnya kami semua pulang, dan saya puas dengan perjalanan ini. Karena saya jarang sekali melakukan perjalanan  mendaki gunung. Yang lainnya saya tidak terlalu fikirkan, terutama soal ilmu yang diberikan mang Toto kepada saya.
Dalam Perjalanan pulang ada yang aneh pada teman-teman  saya. Terutama orang  Limbangan semua mengatakan sehabis dari Linggaratu penampilan saya jadi beda. Saya tidak tahu apakah ini benar atau mereka hanya bercanda.
Dan dari perjalanan inilah masalah buat saya muncul. Saya mengalami  banyak  perjalanan di alam gaib, ada juga yang mengatakan saya gila, ada juga yang mengatakan mempunyai ilmu sesat, ada juga yang mengatakan saya belajar ilmu tak kesampaian.Tapi itulah yang saya alami insya Alloh akan saya curahkan semua pada blog ini.
Bersambung……..!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar